Resensi Buku



Judul : Max Havelaar

Penulis : Multatuli (Eduard Douwes Dekker)

Penerbit : Qanita, PT Mizan Pustaka

Halaman :474 Halaman

ISBN : 978-602-1637-45-6


Eduard Douwes Dekker merupakan seorang pegawai pemerintah Hindia-Belanda dengan masa jabatan kurang lebih 18 tahu. Dalam karirnya banyak sekali rintangan yang dihadapi dikarenakan dia berusaha untuk mmeperbaiki sebuah kebobrokan daerah Lebak pada saat itu. tentu saja niat tersebut sangat baik untuk masyrakat Lebak tetapi tidak untuk Bupati Lebak.


Dalam buku ini menceritakan bagaimana Multatuli atau Eduard Douwes Dekker mengalami sebuah masalah ekonomi yang mengharuskan Istrinya untuk sangat berhemat. Memang benar hemat adalah bentuk kebiasaan yang baik, namun dalam peristiwa ini hemat yang dilakukan oleh istrinya Eduard Douwes Dekker bisa dikatakan ekstrim sehingga tidak jarang membuat anaknya kelaparan.


Selain itu, kita juga akan tau bagaimana proses pembuatan buku Max Havelaar ini dari awal sampai akhir, memang sedikit membingungkan saat membaca untuk pertama kali, namun jika kalian membaca beberapa kalian mungkin tidak akan mengamali kebingungan. Penulisan hingga penerbitan buku ini di Belanda saat itu membutuhkan bantuan seorang makelar kopi dikarenakan dalam sebuah penulisan atau penerbitan buku membutuhkan sejumlah biaya yang harus dikeluarkan.


Penjajahan yang dialami Indonesia dari Belanda tentu menjadi sebuah sejarah yang tidak akan dilupakan di Negeri ini. Penyiksaan yang dihadapin orang zaman dulu tentu masih bisa kita rasakan hanya dengan membaca sebuah buku sejarah atau cerita dari orang-orang. Bayangkan saja selama 3 setengah abad rakyat Nusantara (read: sekarang Indonesia) mengalami sebuah peristiwa yang menyebabkan kematian, kelaparan, kemiskinan, ketakutkan, perasaan tertekan, tidak adanya kemanusiaan.


Salah satu peristiwa yang paling menyakitkan adalah saat rakyat dipaksa untuk melaksanakan kerja paksa. Mungkin tidak apa-apa jika pekerjaan tersebut diberi gaji yang sepadan, namun pekerjaan tersebut tidak diberi gaji sehingga menyebabkan banyak rakyat Indonesia yang kelaparan bahkan mati saat bekerja. Apakah semua itu bisa dianggap “biasa” oleh kalian? Tentu saja karena kita sering mendengar hal itu, tapi apakah diantara kalian akan bisa bilang “biasa” jika sebagian jalan (read: missal) yang kalian lewati terdapat sebuah mayat dari orang sesama tanah air?


Memang sudah bosan dengan cerita tentang penyiksaan yang dialami oleh bang Indonesia kala itu, tapi bukankah itu adalah sesuatu yang perlu diketahui oleh anak muda agar bisa membentuk kepribadian yang bisa menghargai atau tidak mengorbankan orang lain dalam menjalankan sebuah pekerjaan. Memang se-simple itu tapi bisakah?


Kemiskinan atau kesengsaraan yang dialami oleh rakyat Indonesia kala itu tidak hanya dikarenakan oleh Pemerintah saja, tetapi korupsi yang dilakukan oleh Bupati bahkan pejabat pribumi untk memperkaya diri sendiri. lucu sekali, saat masyarakatnya berusaha untuk sebisa mungkin bertahan hidup tetapi pejabat yang merupakan sesama jenis manusai berdarah Indonesia melakukan hal yang menambah beban rakyatnya sendiri.


Hal itu sama seperti sekarang, dimana banyak pejabat-pejabat Negara yang melakukan penyelewengan dana dengan tujuan memperkaya diri tetapi tidak memikirkan rakyat yang berusaha mati-matian mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Yang selama ini mungkin banyak dipertanyakan banyak orang, untuk apa menggelapkan dana padahal sudah banyak uang? Ternyata benar, manusia adalah makhluk serakah tetapi tidak ingin disebut serakah dan mengatas namakan “kebutuhan”.


Selucu itukah nasib rakyat Indonesia? uang yang seharusnya diberikan kepada rakyat tetapi dimakan oleh cacing perut seorang pejabat Negara. Dan anehnya lagi, kenapa para pejabat yang melakukan korupsi itu tidak memiliki sebuah perasaan (kasihan) kepada rakyat sendiri. apakah mereka tidak melihat pengemis yang berjuang dijalanan? Tukang bejak yang sampai-sampai ketiduran saat menunggu penumpang? Seorang penjual kaki lima yang menunggu dagangannya karena masih sepi pembeli? Ternyata uang bisa menutup hati dan akal pikiran orang.


Namun, kelemahan dari buku ini yang sangat membuat kebingungan pembaca adalah kata yang dituangkan dalam buku ini banyak mengandung kata berbahasa belanda, meskipun ada foot not tetapi tetap saja hal itu membuat pembaca harus bolak-balik membaca buku ini. Selain itu, sudut pandang yang setiap babnya berbeda sehingga tentu saja membuat kepala merasa “hah” sewaktu-waktu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Coretan Cerita di Laut

🌻