Malam Menelan Matahari



Senja mulai menampakkan keanggunannya hingga banyak pasang mata dari berbagai macam makhluk hidup mendambakan keberadaanya. Demikian pula dengan sebuah debu yang menikmati keagungan dari senja. Matanya menatap dengan kekaguman tanpa celah kebencian sedikitpun, Pikirannya menyatu dengan keindahan warna orange yang didapatkan.


Terlihat sesosok gadis terdiam dan tersenyum simpul penuh arti sambil menatap detik-detik senja tertelan gelapnya malam. Mata bulatnya enggan mengalihkan pandangan dari hilangnya senja. "Senja seperti Kamu Lan,"ucapnya kala senja sudah tertelan sepenuhnya. Senyum simpul tadi berubah menjadi wajah datar tak berekpresi hingga membuat malam menjadi begitu sunyi. 


Ia tidak membenci malam, hanya saja ia beranggapan bahwa malam menjadi saksi hilangnya mataharinya tanpa ada usaha untuk menunda atau mencegah. Menurutnya malam seharusnya memberikan usaha untuk menunda semua kejadian itu tidak terjadi dan mengantarkan dirinya untuk berada di dekat keberadaan mataharinya. 


Gadis itu duduk di depan jendela sambil melihat jam yang menunjukkan angka 22.11 WIB, "Mengapa secepat itu?," gumamnya dengan lirih di kamar gelap miliknya. Memori masa lalu membuatnya sangat emosional hingga air mata yang selama ini dirubahnya menjadi tawa terjatuh dengan deras. Dada sesak, mata panas, suara hilang seperti tercekik, kepala terasa sakit, dan tubuh begitu lemas seperti kehilangan sebagian besar penopangnya. Ia sangat menikmati waktu menyakitkan dengan sendiri dan sunyi. Ia meringkuk tanpa ada yang mencoba untuk menyentuh, karena semua menganggap bahwa ia sudah bisa melupakan segalanya.


"Bagaimana tuhan memberikan cobaan yang begitu berat dengan cara menghilangkan matahari dari hidupku? Kau meninggalkanku saat keberadaanmu sangat aku butuhkan. Semua berantakan dan kau juga ikut menghilang, Apakah rencana-Nya," ungkapan  disertai tangis yang memenuhi ruang gelapnya. 


Ia terlelap dalam keadaan meringkuk di depan jendela yang tertutup. Paginya ia bersiap-siap untuk pergi ke suatu tempat yang begitu spesial baginya. Sebelum itu, ia pergi ke pasar membeli bunga-bunga yang indah untuk dijadikan sebagai hiasan nanti. Sampai di tempat yang sunyi, penuh dengan banyak nama-nama di atas nisan dan ia pun berjalan menuju nisan bertuliskan "Lana Akbar". "Hai" adalah ucapan yang pertama kali dilontarkan setelah berbulan-bulan hanya diam dan berdo'a di dekat tanah itu. Tak terasa kata itu menjadi alat yang meruntuhkan bendungan air matanya. Seketika di sekelilingnya menjadi begitu menyedihkan dan sepi. Gadis periang tadi barubah menjadi sosok cengeng. Matanya terus menangis dengan lancar, namun air matanya terpaksa dihapus untuk menguatkan pertahanannya lagi. "Hai, aku kesini lagi. Aku kangen," lirihnya dalam hati.


Tak disangka, ada sebuah angin berdesir di sebelahnya seperti memberitahu bahwa ada keberadaan orang lain yang tak terlihat. Tangisnya hampir lolos lagi namun ia berusah untuk menjaganya tetap tertahan agar bisa melihat kenyataan lagi. "Aku kesini lagi kalau ada waktu, yang tenang karena aku sudah bisa menerima semua kenyataan yang ada. Kemarin Kamu sering datang ke mimpi ku karena aku meminta pada-Nya untuk bertemu denganmu, tapi ternyata itu yang membuatku tidak tenang dan tidak adil. Maaf karena aku egois ingin terus bertemu denganmu lagi. Kamu masih seberharga itu. Aku mencintaimu lebih dari apa yang aku bayangkan. Mungkin, jikalau malam dimana aku ingin mengungkapkannya pasti aku tidak tersiksa seperti sekarang. Bolehkah aku bercerita kepadamu lewat anganku? Aku hanya ingin cerita keluh kesah kepadamu saja. Apakah itu perbuatan yang benar?" ucapnya tertahan. "Tahukah kamu bahwa teman-teman kita sering kali menyarankan untuk mencari yang lain agar aku bisa melupakan dan melanjutkan kehidupanku. Tapi aku selalu menolaknya karena bagaimana bisa aku mencari dan menerima yang lain saat di jalan pun aku masih melihat dirimu?. Apakah aku salah Lan?. Tambahnya terakhir.

Suasa menjadi sangat tenang, dan sedih di saat ia melihat nama yang tertulis di nisan itu. Ternyata ia masih merasakan sakit yang sangat saat melihatnya. Kenyataan masih belum bisa ia terima sepenuhnya karena semua hilang begitu cepaat. Kehilangan satu matahari sangat berdampak pada kerangka-kerangka hidupnya yang lain. Jika ia mengikuti logika mungkin sudah mendapatkan matahari lain, tapi ia tidak melakukannya karena kepercayaan kepada hatinya memberikan sisi positif bagi pikirannya.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

🌻

Sebuah Doa dan Dia

Coretan Cerita di Laut